Hubungan dagang Amerika Serikat dan Asia, terutama Tiongkok, semakin tegang. Kini, ketegangan itu meluas ke sektor teknologi, melahirkan apa yang disebut sebagai perang dagang era digital.
Amerika membatasi ekspor chip canggih ke Tiongkok, dengan alasan keamanan nasional. Langkah ini dianggap sebagai upaya menghambat kemajuan teknologi Tiongkok di bidang AI dan superkomputer. Sebagai balasan, Tiongkok membatasi ekspor mineral penting seperti gallium dan germanium yang vital untuk industri semikonduktor.
Perang dagang ini berdampak global. Industri otomotif, elektronik, hingga telekomunikasi terguncang karena rantai pasok terganggu. Negara-negara lain ikut terdampak karena bergantung pada kedua raksasa ini untuk suplai teknologi.
Di balik konflik ini, ada perebutan dominasi masa depan. AS ingin mempertahankan posisinya sebagai pusat inovasi, sementara Tiongkok berambisi menjadi pemimpin teknologi dunia. Rivalitas ini memengaruhi geopolitik global, memaksa negara lain memilih pihak atau mencari jalur independen.
Bagi konsumen, dampak langsung adalah harga produk teknologi bisa naik. Smartphone, laptop, hingga mobil listrik bisa lebih mahal karena biaya produksi meningkat.
Namun, perang dagang ini juga memicu inovasi. Negara-negara mulai berinvestasi dalam kemandirian teknologi, mengurangi ketergantungan pada pihak luar. Hal ini bisa mempercepat lahirnya ekosistem teknologi baru di berbagai belahan dunia.
Apakah perang dagang Amerika-Asia akan mereda? Sulit diprediksi. Selama kepentingan geopolitik masih berbenturan, persaingan ini kemungkinan terus berlanjut.
Yang jelas, masa depan teknologi global kini ditentukan bukan hanya oleh inovasi, tapi juga oleh politik perdagangan.