Di saat kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya menikmati koneksi internet 5G, jutaan warga di wilayah pedesaan dan pulau-pulau terluar masih berjuang untuk mendapatkan sinyal 4G yang stabil, atau bahkan belum terjangkau internet sama sekali. Fenomena inilah yang disebut sebagai kesenjangan digital (digital divide).
Kesenjangan ini bukan hanya soal ketimpangan akses internet. Ini adalah jurang pemisah dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan (telemedisin), peluang ekonomi (e-commerce), dan informasi. Pandemi COVID-19 memperjelas hal ini, di mana siswa di perkotaan dapat belajar daring, sementara siswa di pedesaan tertinggal jauh.
Pemerintah telah berupaya mengatasi ini melalui proyek infrastruktur besar seperti Palapa Ring, yang bertujuan membangun tulang punggung (backbone) serat optik nasional. Namun, membangun backbone saja tidak cukup; tantangan sebenarnya ada di last mile, yakni menyambungkan jaringan dari jalan utama ke rumah-rumah warga.
Kesenjangan digital juga mencakup faktor ekonomi (keterjangkauan harga paket data dan smartphone) serta faktor literasi (kemampuan masyarakat menggunakan teknologi digital secara produktif dan aman). Memberi akses internet tanpa edukasi literasi digital tidak akan efektif.
Menjembatani kesenjangan digital adalah prasyarat mutlak untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045. Tanpa akses yang adil dan merata, janji revolusi digital hanya akan dinikmati oleh sebagian kalangan dan berpotensi memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi yang sudah ada.

